KONFIGURASI POLITIK DI TIMUR-TENGAH


Wilayah timur tengah (middle east) selama ini seakan tidak lepas dari hingar-bingar konflik dan kekerasan yang selalu menghiasi setiap headline media-media seluruh dunia. Padahal jika kita lihat lebih jauh disitulah agama-agama besar lahir, yaitu Islam, Kristen, Yahudi. Selain itu juga terdapat tempat suci yang di klaim ketiga agama itu yaitu Jerusalem. Sangat ironis tempat lahirnya agama yang mengajarkan kedamaian kepada setiap umatnya menjadi wilayah yang nyaris jarang terdengar kata perdamaian. Namun disisi lain timur tengah, yang tandus ternyata dianugrahi Tuhan kaya akan sumberdaya mineral yaitu minyak bumi yang menghasilkan uang berlipah dan membuat bangsa manapun ‘ngiler’.

Konflik di timur tengah pada abad modern ini, sebenarnya sudah dimulai sejak perang dunia I dimana konfigurasi politik jazirah arab waktu itu menjadi berubah setelah runtuhnya Kekhalifahan Usmani di Turki. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) itu akhirnya diambil alih oleh Inggris sebagai pihak pemenang PD I yang tentunya atas bantuan Amerika Serikat dan sekutunya.

Potensi ketegangan di timur tengah semakin terlihat setelah imigrasi besar-besaran entik Yahudi dari eropa yang waktu itu tersingkir oleh rejim Nazi di Jerman yang terkenal dengan peritiwa holocausts. Imigrant itulah yang menempati daerah yang sekarang menjadi Negara Israel dan Palestina.

Konflik antara Israel dan Palestina sebagai isu dominan, adalah lahir dari konflik antara Negara-negara Arab dengan Israel yang kemudian dikenal dengan perang Arab-Israel. Selanjutnya, konflik-konflik terus bermunculan seiring dengan semakin banyaknya Negara yang ikut campur di kawasan ini. Selain itu semakin meningkanya ‘kekuatan’ Negara-negara Arab sendiri serta berbagai situasi politik dalam negeri Negara-negara tersebut juga sebagai faktor yang menentukan terjadinya konflik di wilayah itu. Konflik tersebut diantaranya, Perang Iran-Iraq (1980-1988), Konflik Iraq – Kuwait (Agustus 1990-Januari 1991) dan Pendudukan Uni Soviet di Afganistan.

Semua konflik-konflik tersebut tidak lain adalah dampak dari struktur politik dunia (international system) yang mengendaikan konfigurasi politik global oleh kekuatan besar (super power) yang merupakan sebagian dari edisi perang dingin.

Dalam konflik timur tengah, pada intinya peran kepentingan dan kekuatan hegemoni sebagai pemegang struktur global (systemic) dalam hal ini Amerika dan sekutunya termasuk Uni Soviet, sangat besar dalam mempengarugi konfigurasi politik timur tengah. Disamping idiosyncratic (gaya kepemimpinan) serta struktur politik Negara-negara Arab cukup besar pula dalam mempengaruhi peta politik timur tengah. Termasuk faktor ideology, dalam hal ini konflik agama (Islam-Yahudi) juga tidak dapat dipandang sebelah mata dalam membentuk struktur politik, minimal dari sudut pandang masing-masing Negara yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya, konfigurasi politik dapat dianalisis dari peristiwa-peristiwa historis dalam kawasan tersebut, sebagai berikut:

1. Konflik Iran – Iraq (1980-1988)

Konflik Iran-Iraq, peran Amerika sangat besar dalam membentuk struktur politik timur tengah pada waktu itu. Sudah dapat kita tebak, bahwasannya minyak adalah incaran utama AS. Perlu diketahui bahwa Iran adalah Negara penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi. Selain itu, motivasi dari kedua negara yang ingin ‘memimpin’ timur tengah patut menjadi perhatian mengingat sumber daya Mereka yang begitu besar sangat berpotensi menjadi hegemoni baru yang berarti mengancam Amerika.

Kondisi politik dalam negeri kedua Negara juga mendukung, apalagi Iran dalam masa Revolusi Islam oleh Khomaeni semakin gencar menjadi kekhawatiran tersendiri dari Amerika yang berpotensi untuk menjadi hegemoni baru termasuk Iraq sendiri yang khawatir revolusi itu akan menggilas Irak yang sudah di ‘cap’ Sunni oleh Khomaeni. Bahka dengan lantang mengatakan “Iran would not end the war until the downfall of President Saddam Hussein”.

Disini terjadi ‘keanehan-keanehan’, Keanehan itu tampak pada dukungan AS kepada Irak beserta Arab Saudi dan disisi lain Israel mendukung Iran diikuti Syria. Secara singkat sebenarnya dapat dilihat bahwa Saudi jelas memiliki kedekatan historis dengan Irak dari pada Iran yang Syiah. Amerika justru pada pilihan yang sulit, sebab keduanya sangat berpotensi untuk ’menyingkirkan’ AS di timur tengah, pilihan yang sulit itu jatuh ke Irak yang mana ’kebencian’ ke Iran lebih tinggi mengingat kekhawatiran akan dampak Revolusi Iran, apalagi dalam menggulingkan Shah Iran yang sangat dekat dengan AS. Syria, jelas secara geografis berbatasan dengan Irak, secara kalkulasi akan sangat berbahaya jika Irak menang, maka sudah dapat dipastikan Syria akan di “lumat” Irak. Jalan terbaik adalah membantu Iran yang secara geografis sangat jauh dengan Syria, meskipun tidak dapat disangkal kedekatan Ideologi (Syiah) sedikit banyak berpengaruh. Israel justru mendukung Iran, karena Israel memandang Irak lebih berbahaya jika menang atas Iran, namun disini prinsip ’balance of power ’ bermain. Artinya AS mendukung Irak untuk melemahkan Iran dan Israel mendukung Iran untuk melemahan Irak.

2. Konflik Irak – Kuwait

Dalam konflik Iraq – Kuwait juga tidak lepas dari campur tangan AS pada akhirnya. Walaupun ’niat’ pertama Iraq melakukan invasi jelas bahwa Iraq berkepentingan atas Kuwait yang juga kaya minyak. Iraq mengklaim bahwa Kuwait merupakan bagian dari wilayahnya. Namun, pada akhirnya pun AS ’turun tangan’ dengan menerjunkan pasukannya yang sangat terkenal dengan sebutan ’gulf war’ atas inisiatif presiden G. Bush senior.

Dari hal tersebut dapat kita lihat bagaimana kuatnya kepentingan AS atas wilayah tersebut. Mengingat dengan munculnya Irak sebagai kekuatan baru di Timur Tengah, sangat dikhawatirkan AS karena jelas dominasi dan hegemoni AS di Timur Tengah akan berkurang atau mungkin akan hilang jika Iraq benar-benar menjadi penguasa wilayah ini. Dan memang benar, AS mendapatkan moment yang tepat seiring dengan invasi ke Kuwait, maka secara tidak langsung mendapatkan alasan yang tepat untuk menyerang Irak dengan alasan membantu Kuwait dan menyelamatkan perdaimaian. Tentu saja hal tersebut juga mendapatkan restu dari DK PPB.

3. Konflik Israel-Palestina

Sebenarnya konflik antara bangsa Yahudi sebelum membentuk Israel dimulai ketika imigrasi besar-besaran etnik Yahudi dari Eropa yang terdesak rejim Hitler. Dengan berdatangannya bangsa Yahudi ke Palestina secara besar-besaran, menyebabkan kemarahan besar penduduk Palestina. Gelombang pertama imigrasi Yahudi terjadi pada tahun 1882 hingga 1903. Ketika itu sebanyak 25.000 orang Yahudi berhasil dipindahkan ke Palestina. Mulailah terjadi perampasan tanah milik penduduk Palestina oleh pendatang Yahudi. Bentrokan pun tidak dapat dapat dihindari. Kemudian gelombang kedua pun berlanjut pada tahun 1904 hingga 1914. Pada masa inilah, perlawanan sporadis bangsa Palestina mulai merebak.

Israel kemudian melakukan ‘lobi’ hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui bantuan AS, sehingga keluarlah Resolusi DK PBB No. 181 (II) tanggal 29 November 1947 yang memberikan mandat kepada Inggris untuk membagi wlayah palestina menjadi tiga bagian mulai saat itulah perlawanan-perlawanan muncul sehingga memunculkan solidaritas dari beberapa kelompok dan negara Arab termasuklah Al Ikhwan Al Muslimun yang disaat bersamaan dibubarkan oleh pemerintah Mesir memperkuat dukungan di tepi barat. Kelompok inilah yang akhirnya membentuk HAMAS (Harakah al-Muqawwah al-Islamiyah) atas prakarsa Syaikh Amad Yassin yang ’lahir’ dari ikhwan al muslim.

Sedang di wilayah yang berbatasan dengan Yordania bantuanpun mengalir dari negara itu walaupun Secara rahasia. Selanjutnya Israel pun juga ber konflik dengan Lebanon terkait dengan ’pencaplok’ annya atas wilayah sekitarnya semisal dataran tinggi Golan dari Syria dan Semenanjung Sinai dari Mesir serta keterlibatannya dalam konfik terusan Suez.Sehingga dapat dikatakan peran Inggris dan Amerika sangat besar dan paling bertanggung jawab dalam pembentukan Israel dan konfik timur tengah. Artinya, secara tidak langsung memang Israel adalah dikehendaki untuk dibentuk oleh negara-negara besar tersebut, walaupun konsekuensi yang terjadi sangat memilukan dan menafikkkan sisi-sisi kemanusiaan.

Dalam konteks kekinian, yaitu sepanjang tahun 2008 kawasan Timur Tengah semakin diwarnai dengan pertarungan sengit dua kubu, yakni antara kubu AS beserta koalisinya dan kubu Iran serta koalisinya pula. Kubu AS mengusung proyek Timur Tengah Raya dengan tawaran isu demokratisasi sebagai andalannya. Adapun kubu Iran membawa misi Timur Tengah yang independen, bernapaskan Islam, dan bebas dari pengaruh asing. Dua kubu tersebut saling membangun sistem patron-klien di berbagai wilayah atau negara di kawasan Timur Tengah.

Secara garis besar, konfigurasi dua kubu itu adalah kelompok pro dan anti terhadap AS. Kelompok pro-AS terdiri dari negara-negara Arab moderat (Mesir, Jordania, dan enam negara Arab Teluk yang terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Kesultanan Oman, dan Uni Emirat Arab), Israel dan Turki. Kelompok anti-AS terdiri dari Suriah, Iran, gerakan Hezbollah, gerakan Hamas, Milisi Pengadilan Islam di Somalia, Pemerintah Presiden Omar Hassan Bashir di Sudan, kelompok perlawanan Sunni dan Syiah di Irak, dan Ikhwanul Muslimin di berbagai negara Arab, serta Tanzim Al Qaeda.

Dua kubu tersebut kemudian bertarung di berbagai lini, yakni di Palestina, Irak, Lebanon, Somalia, Sudan, Jordania, Aljazair, Mesir, dan negara-negara Arab Teluk. Dua kubu berlomba menancapkan proyeknya masing-masing dan dalam waktu yang sama saling membendung atau menggagalkan satu sama lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa konfigurasi politik di timur-tengah mengalami banyak pengaruh dari negara-negara yang memiliki power lebih, seperti Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya. sedangkan negara-negara di kawasan timur-tengah akan memihak pada pada salah satu negara besar yang berkonflik untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.

Disusun oleh:

Dedy Alex Putra

Nursam

Ahmad Zaki

Arham

Arfian Chrisna

Minhajuddin

0 Comments:

Post a Comment