JEJAK ILMU DI BUMI PYRAMID

(Studi Mengenai Sektor Pendidikan di mesir)
Oleh : Sadhriany Pertiwi Saleh
E 131 06 006
Hubungan Internasional / Universitas Hasanuddin

Secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria, Mesir pada tanggal 2 Juli 1798 M. Tujuan utamanya adalah menguasai daerah Timur, terutama India. Napolen Bonaparte menjadikan Mesir, hanya sebagai batu loncatan saja untuk menguasai India, yang pada waktu itu dibawah pengaruh kekuasaan kolonial Inggris. Konon, kedatangan Napolen ke Mesir tidak hanya dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa seratus enam puluh orang diantaranaya pakar ilmu pengetahuan, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, Yunani, peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera, dan lain sebagainya), serta seribu orang sipil. Tidak hanya itu, ia pun mendirikan lembaga riset bernama Institut d’Egypte, yang terdiri dari empat departemen, yaitu: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan polititik, serta ilmu sastera dan kesenian. Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi Napoleon dalam memerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan (ulama’) Islam. Ini adalah moment kali pertama ilmuwan Islam kontak langsung dengan peradaban Eropa, termasuk Abd al-Rahman al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam berbagai bahasa dunia. Menurut Joseph S. Szy Liowics, untuk memenuhi kebutuhan ekspedisinya, Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran modern kepada Mesir serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Mesir dengan cara mengalihkan budaya tinggi Perancis kepada masyarakat setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama, banyak diantara cendekiawan Mesir belajar tentang perpajakan, pertanian, kesehatan, administrasi, dan arkeologi.
Ekspedisi Napoleon ke Mesir membawa angin segar dan perubahan signifikan bagi sejarah perkembangan bangsa Mesir, terutama yang menyangkut pembaharuan dan modernisasi pendidikan di sana. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perancis banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh Mesir untuk melakukan perubahan secara mendasar sistem dan kurikulum pendidikan yang sebelunya dilakukan secara konvesional.
Sebelum abad ke sembilan belas, setelah kedatangan napoleon, Pendidikan di Mesir masih dikontrol oleh ulama dan pendeta Koptik . Mata pelajaran yang paling penting saat itu adalah teologi seminaries, dimana sebagian besar masjid-masjid dan gereja - bahkan di desa – dioperasikan sebagai sekolah dasar di mana hanya anak laki-laki saja yang dapat belajar untuk membaca dan menulis Arab, untuk melakukan aritmatika sederhana, dan mengingat ayat-ayat dari Quran atau Alkitab. Kemudian, seorang tokoh bernama Muhammad Ali yang mendirikan sistem pendidikan sekuler modern pada awal abad kesembilan belas memberikan pelatihan teknis untuk kader administrasi sipil dan militer. Cucu dari Ali , bernama Ismail, sangat membantu dalam memperluas sistem pendidikan yang telah dibuat oleh kakeknya dengan membuat jaringan sekolah umum pada tingkatan dasar, menengah, dan tinggi. Istri pertama dari Ismail juga berkecimpung dalam bidang pendidikan dengan membantu menyiapkan sekolah untuk anak gadis pada 1873. Antara 1882 dan 1922, ketika Negara Mesir berada di bawah administrasi Inggris, pendidikan Mesir kemudian mengalami stagnasi. Namun pada saat itu, sejumlah sekolah swasta, termasuk Universitas sekuler pertama di Mesir didirikan. Setelah pemerintahan Inggris berakhir, Mesir mengadopsi konstitusi baru yang mecanangkan pembaharuan di dunia pendidikan yakni sekolah-sekolah dasar yang memadai untuk semua orang Mesir. Namun demikian, secara umum pendidikan hanya dapat diakses oleh kalangan elit. Pada saat yang Revolusi 1952, Sekolah-sekolah di Mesir hanya diisi kurang dari 50% anak-anak usia sekolah, dan sebagian besar anak-anak yang telah mendaftarkan diri adalah anak laki-laki. Hampir 75 persen dari jumlah penduduk pada masa itu yang berusia lebih dari sepuluh tahun merupakan buta huruf. Dan 90% dari masyarakat buta huruf tersebut adalah perempuan.
Setelah Revolusi tersebut, dunia pendidikan di Mesir kemudian mengalami perombakan yang signifikan. Pejabat pemerintah pada waktu itu secara dramatis memperluas kesempatan Rakyat untuk memperoleh pendidikan. Mereka berjanji untuk menjalankan program pendidikan gratis bagi semua warga Negara dengan menghapuskan semua biaya untuk sekolah umum. Pemerintah menambah anggaran Departemen Pendidikan sebanyak 2 kali lipat dalam satu dekade, focus pemerintah terhadap pendidikan berkembang dari kurang dari 3 persen dari produk domestik bruto pada periode 1952-1953 menjadi lebih dari 5 persen pada 1978. Pengeluaran pembangunan di sector pembangunan gedung sekolah meningkat 1000 persen antara 1952 dan 1976, dan total jumlah sekolah dasar bertambah dua kali lipat menjadi 10000. Pada pertengahan tahun 1970-an, anggaran pendidikan yang mengambil lebih dari 25 persen dari dari total anggaran pengeluaran pemerintah saat itu. Sejak pertengahan tahun 1970-an, Tujuan pemerintah Mesir untuk pembangunan di sektor pendidikan telah hampir dirampungkan. Kemudian , sekitar 85 persen dari anggaran Departemen Pendidikan dialokasikan untuk memenuhi gaji tenaga pendidik.
Sejak tahun akademik 1953-54 hingga 1965-66, keseluruhan pencapaian di bidang pendidikan meraih angka lebih dari dua kali lipat. Keseluruhan pencapaian tersebut kemudian menghampiri dua kali lipat lagi pada 1965-66 hingga tahun akademik 1975-76. Sejak 1975 Pertumbuhan pendidikan Sekolah Dasar mencapai 4,1 persen per tahun, dan sekolah menengah di angka rata-rata 6,9 persen per tahun. Proporsi penduduk dengan pendidikan 9 tahun mencapai angka lebih dari dua kali lipat antara 1960 dan 1976, jumlah penduduk dengan pendidikan universitas hampir mencapai tiga kali lipat dari sebelumnya. Presentase perempuan dengan pendidikan pra-universitas tumbuh lebih dari 300 persen, sedangkan perempuan dengan pendidikan universitas tumbuh lebih dari 600 persen. Pada tahun akademik 1985-86, sekitar 84 persen dari penduduk usia SD (lebih dari 6 juta dari 7,2 juta anak-anak Usia tujuh dan dua belas) telah mendaftarkan diri di sekolah dasar. Undang-undang Nomor 139 sejak tahun 1981, Pemerintah menetapkan bahwa pendidikan wajib Sembilan Tahun adalah hal mutlak bagi warga negara.
Pada 1990, masalah dalam sistem pendidikan di Mesir terjadi. Salah satu penyebabnya adalah, pemerintah tidak memberikan ketegasan hukum untuk mewajibkan anak-anak usia sekolah menempuh pendidikan. Oleh karena itu, Di beberapa daerah, sebanyak 50 persen dari anak-anak yang terdaftar secara resmi, tidak menghadiri kelas secara teratur. Terdapat juga perbedaan signifikan antara pendidikan di pedesaan dan perkotaan. Di perkotaan, hampir 90 persen dari anak-anak usia sekolah mampu merampungkan proses pendidikan mereka.Sedangkan di beberapa daerah pedesaan di Mesir, hanya 50 persen yang mampu menyelesaikan pendidikan, dan secara keseluruhan, hanya separuh dari para siswa yang terdaftar di sekolah dasar yang mampu menyelesaikan jenjang pendidikan mereka.
Walaupun jumlah anak perempuan yang bersekolah meningkat setiap tahunnya, namun anak laki-laki masih melebihi jumlah perempuan di setiap tingkat pendidikan. Dalam 1985-86, misalnya, hanya 45 persen dari seluruh siswa SD perempuan. Diperkirakan 75 persen perempuan antara usia enam hingga dua belas yang terdaftar di sekolah dasar dibandingkan dengan 94 persen dari anak laki-laki di usia yang sama. Siswa perempuan juga mengalami putus sekolah dasar lebih sering daripada anak laki-laki. Sekitar 66 persen dari awal sekolah dasar anak laki-laki menyelesaikan pendidikan SD, sementara hanya 57 persen dari anak perempuan yang menyelesaikan pendidikan dasar mereka. Perempuan menyumbang sekitar 41 persen dari total penerimaan siswa sekolah dasar dan 39 persen dari pendaftaran sekolah menengah. Di antara semua anak perempuan berusia dua belas hingga delapan belas di tahun 1985-86, hanya 46 persen yang terdaftar di sekolah menengah. Perihal kekurangan guru juga merupakan masalah yang kronis, khususnya di sekolah dasar di pedesaan. Menurut peraturan pada zaman penjajahan Inggris, Kaum pengajar di mesir di anggap sebagai profesi yang kurang bergengsi. Kaum muda memilih karir ini hanya jika tidak ada pilihan lain, atau jika akan digunakan sebagai batu loncatan yang lebih tinggi untuk karir di bidang hukum. Walaupun perbaikan dalam pelatihan dan gaji, mengajar - khususnya di tingkat SD – tetap dianggap sebagai pilihan karir yang rendah. Dalam 1985-86, Mesir dari sekolah dasar dan menengah yang bekerja hanya 155.000 guru untuk melayani 9,6 juta murid - sekitar 62 siswa per guru. Beberapa sekolah di kota yang ramai mempekerjakan guru-guru mereka 2 shift per-hari.Di Mesir banyak guru-guru pilihan yang justru memilih mengajar di luar negeri, di mana gaji yang mereka dapatkan lebih tinggi dan kondisi kelas yang lebih baik. Selama tahun 1980, pemerintah memberikan 30000 visa keluar satu tahun untuk guru kontrak yang mengajar di negara-negara Arab.
Dalam sektor Universitas sendiri, Pendidikan tinggi ini berkembang bahkan lebih drastis dibandingkan dengan sistem pra-universitas. Dalam sepuluh tahun pertama setelah Revolusi 1952, pengeluaran pada pendidikan tinggi meningkat 400 persen. Akademik antara tahun 1951-52 dan 1978-79, pendaftaran siswa di perguruan tinggi umum tumbuh hampir 1400 persen. Dalam 1989-90 terdapat empat belas universitas publik dengan total penerimaan dari 700.000. Lebih dari separuh dari lembaga-lembaga tersebut didirikan sebagai otonomi perguruan tinggi setelah 1952, pada periode tahun 1970-an dan 1980-an. Total jumlah mahasiswa perempuan telah mencapai dua kali lipat; 1985-86 kaum perempuan menyumbang 32 persen dari semua siswa. Pada tahun 1980-an, perguruan tinggi umum menerima 2 kali lipat anggaran melebihi jenjang pendidikan lainnya.
Jika kita menilik pada konteks kenkinian, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan di Mesir dewasa ini berlangsung stabil. Bahkan kini mesir kerapkali melakukan kerjasama pendidikan dengan Negara kita Indonesia. Semoga saja Jejak-jejak sejarah yang melukiskan jatuh bangunnya dunia pendidikan di Mesir mampu menjadi acuan bagi Negara ini untuk tetap berkarya lebih baik bagi segenap kemaslahatan dan kemakmuran rakyatnya. Terbukti revolusi pendidikan yang terjadi telah mampu membawa Mesir keluar dari lembah kebodohan, dan semoga saja Mesir akan mampu termotivasi untuk menjadi lebih baik kedepannya terutama dalam sektor Pendidikan itu sendiri.

0 Comments:

Post a Comment